Bima Yudha Pranata

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Enigma Sajadah Kencana Syekh Narwastu

Teguh Dewangga

..................................................................

Hanya ada tiga golongan yang mampu memindahkan atau sekadar melipat sajadah kencana tersebut. Orang-orang itu tak lain adalah anak keturunan Syekh Narwastu, Nabi Khidir, dan orang-orang yang memiliki karamah setingkat wali Allah. Sajadah itu sama purbanya dengan pesantren megah tempatku bernaung saat ini yang telah berumur lebih dari satu abad. Bentuknya lebih mirip sorban dengan kain yang lebih tebal dan dibawa langsung oleh Syekh Narwastu ketika kembali dari Tanah Suci. Permadani itu seolah ditempel dengan lem perekat atau bahkan ikut disemen sehingga tak bisa bergeser sedikit pun. Memang sehelai kain tersebut muncul begitu saja sebagai enigma untuk menerabas nalar dan logika berpikir.

Bagaimana tidak? Permadani indah itu sudah bertahun-tahun tak bergeser dari tempatnya. Bahkan, tak seorang pun mampu menggeser barang sejengkal dari tempatnya semula. Melipatnya pun bahkan suatu hal yang muskil terjadi. Sepertinya, sajadah kencana itu juga tak akan bergeser bahkan sampai kapan pun. Pasalnya keturunan terakhir Syekh Narwastu yang membangun pesantren ini tak mampu meneruskan garis darahnya. Keturunan terakhir telah wafat dan bersanding dengan makam-makam purba yang selalu diziarahi oleh ribuan orang tiap hari. Kemungkinan kedua adalah datangnya sang Nabi Agung. Tapi, hal tersebut sama mustahilnya dan buat apa juga seorang Nabi Khidir berkunjung ke pesantren ini. Ia jelas dibutuhkan di lebih banyak tempat untuk menebarkan mukjizat waskita miliknya.

Kemungkinan terakhir adalah datangnya wali Allah, yang kuingat belasan tahun lalu pernah datang ke pesantren ini. Ia merupakan seseorang guru dari Timur Tengah yang jauh-jauh datang hanya untuk berkunjung, karena penasaran dengan arsitektur yang sangat mirip negeri asalnya. Karamahnya telah jelas terlihat ketika aku menyambutnya di gerbang depan. Kala itu telah masuk awal tahun yang terlalu sering menjatuhkan hujan. Ketika ia datang, aku sudah menyiapkan payung, tetapi ia justru memilih untuk berlari menghindari hujan menuju ke dalam pesantren. Ketika wali Allah itu berada di dalam pesantren mengagumi lorong bersepuh emas dan pinggan keramik yang ditanam di sepanjang tembok, aku justru menelisik rupa dan kelakuannya. Yang melekat di ingatanku, serat-serat gamisnya bersih seperti tak tersentuh tetes hujan sedikit pun. Bahkan kakinya seolah terhindar dari cipratan tanah becek.

Mulanya ketika wali Allah itu mengimami salat maghrib. Ia sepertinya cukup terusik dengan posisi sajadah yang kurang pas di pandangan matanya. Ia dengan mudah mengambil sajadah kencana yang miring ke kanan itu dan menempatkan segaris dengan mihrab imam. Aku tentu saja membelalakkan mata. Lantas ketika ia pulang aku benar-benar berusaha untuk mencium tangannya. Setidaknya seumur hidup aku pernah bertemu dengan seorang wali Allah.

Bagi kalian yang ingin melihat sajadah kencana itu, datanglah kemari. Tanyalah pada orang-orang di mana sebuah pesantren megah berlantai sembilan yang dibangun di tengah perkampungan. Banyak orang menganggap pesantren ini dibangun oleh bangsa jin dalam waktu semalam. Bahkan, setan alas dan jin-jin haram jadah juga turut memasang tiang-tiang menjulang serta dengan cermat memasang ubin-ubin berpola. Jika kau lihat dari luar, arsitekturnya sangat khas. Dengan tembok-tembok kukuh yang terpasang ratusan keramik berwarna biru tua.

Cerita itulah yang selalu didesiskan banyak penjual yang ada di sekitar pesantren. Kabar-kabar itu menyebar dengan cepat bahkan ditambahi bumbu-bumbu oleh peziarah dan pengunjung bermulut kecubung. Sehingga dalam hitungan tahun, banyak orang benar-benar penasaran dan percaya bahwa pesantren ini tiba-tiba muncul begitu saja dari dunia nirkala. Padahal setiap akhir pekan, aku sendiri turut mengangkat cangkul untuk mengaduk semen bahkan tak jarang membantu mengangkut bata. Bukan sekumpulan yang tiba-tiba membangun dalam waktu semalam.

Dan setidaknya mampirlah salat ke masjid yang berada di lantai empat. Engkau akan melihat tempat itu dinaungi lampu kristal megah. Kau dan pengunjung lainnya pasti berbondong-bondong ketika azan mulai dilantunkan. Mereka akan berebut berdiri di saf pertama bahkan rela berdesakan dan meninggalkan anak mereka di barisan belakang. Terlebih berebut untuk menempati posisi di belakang imam. Bukan untuk mengejar pahala yang telah dijanjikan dalam kitab dan hadis, melainkan untuk memuaskan rasa penasaran dengan memelototi kondisi sajadah itu dengan seksama dan lamat-lamat.

Sajadah tua itu tampak lusuh tapi serat-serat kainnya masih terlihat jelas. Terpilin dari tali-tali kasar. Jika ditilik lebih dalam, bagian yang sering dipijak oleh kaki dan bersentuhan dengan lutut, kainnya tampak lusuh. Tapi bagi siapa pun yang pernah menjadi imam dan mencium aroma cendana yang menguar ketika sedang sujud sempurna, bau itu akan menempel lembut di puncak hidung dan tak akan hilang berhari-hari.

Tapi tak seorang pun berani mengambil alih posisi imam sejak bertahun-tahun. Setelah aku menutup gerbang dan meninggalkan pos jaga, ketika aku memasuki masjid bertepatan dengan pengunjung yang tengah memberi jalan untuk seseorang. Orang itu adalah Maulana. Ia menyampirkan sajadah kencana sewarna hijau itu di pundak kanannya. Pengunjung sontak memandanginya dengan kagum. Menganggapnya sebagai orang suci. Dengan lagak yang dibuat-dibuat ia berjalan dengan pesongnya menuju mihrab imam. Tapi aku dan seluruh penghuni pesantren ini merasa jengah dan membuang napas kesal. Permadani hijau di pundaknya itu tak lebih dari sajadah imitasi.

***

Tidak adanya garis keturunan langsung dari Syekh Narwastu membuat semua orang menyerah memikirkan siapa yang akan merawat sajadah kencana itu. Tak ada yang bisa memindahkannya bahkan membersihkan dan mencucinya. Itu terlalu kultus.

Mau tak mau, Maulana dinobatkan sebagai penerus trah Syekh Narwastu. Ia sebenarnya adalah santri yang memang sejak kecil telah hidup di pesantren. Ia ditinggalkan orang tuanya dari sejak orok di depan gerbang hanya dengan beralaskan daun pisang. Ketika ia ditemukan, wajahnya hampir diriapi semut-semut cangkrang. Istri keturunan terakhir Syekh Narwastu akhirnya mengadopsinya dan merawatnya seperti anaknya sendiri. Menjadi telaga pelipur lara dalam rumah tangga yang sebelumnya digelayuti kekecewaan karena seorang anak yang tak kunjung diamanahkan kepada mereka.

Sepeninggal kedua orang tuanya, Maulana selalu mendorong semua untuk salat di masjid secara berjemaah. Ia tak hanya menjadi imam tapi juga merangkap sebagai khatib salat Jumat dan salat pada hari-hari besar. Ia tak pernah mengenyam pendidikan formal. Hidupnya hanya untuk pesantren, ia belajar banyak kitab dan dengan sendirinya menjadi guru bagi banyak orang.

“Sempurnakan salatmu, maka Allah akan menyempurnakan hidupmu.” Ia selalu mengulang petuah itu dalam setiap khotbah dan ceramahnya. Ia juga mendorong setiap orang untuk membaktikan diri di masjid dan mengurangi keinginan serta hajat-hajat dunia.

“Pasti ia wali Allah,” bisik orang-orang yang kebetulan melihat Maulana berjalan dengan sajadah kencana tersampir di pundaknya laiknya sebuah sorban.

“Kalaupun bukan seorang wali, ia pasti mendapatkan karamah Nabi Khidir.” Salah seorang lainnya rupannya turut membenarkan. Sedangkan aku sendiri mendengar semua itu seperti ingin tertawa.

Semua orang yang tidak tahu perangai Maulana pasti akan terperangah kagum. Ia bahkan tak pernah ingin merasa jauh dengan sajadah imitasinya. Ia meletakkannya hanya ketika buang hajat dan mandi. Tapi santri-santri lama tahu bahwa permadani hijau di pundaknya itu hanya akal-akalan dia saja. Itu hanya duplikasi sempurna dari sajadah kencana. Yang berbeda hanya bau cendana yang tidak akan meruap sedikit pun dari permadani miliknya. Jika kau mau menciumnya, baunya seperti minyak wangi murahan yang begitu menyengat.

Puluhan tahun ia berdiri di mihrab iman, ia pasti tahu betul bagaimana detail dan rupa sajadah kencana itu, sehingga ia sangat paham bagaimana menduplikasikannya. Bahkan di setiap gurat dan pola yang ada. Imitasinya juga mencakup simpul-simpul yang mulai kendor di beberapa bagian atau bahkan jumlah jalinan tali keemasan yang membingkai hampir seluruh bagian luar permadani suci itu. Karena di setiap zikirnya ia selalu mengusap-usap dengan pelan sembari mematrikan ingatan tentang setiap jengkal bentuknya.

Hanya saja miliknya tampak terbuat dari kain yang mahal dan terkesan mencolok. Tak seperti sajadah asli yang warnanya justru meneduhkan padangan, terlebih ketika mendapat cahaya temaram dari lampu gantung. Jika Maulana sakit atau berhalangan ke masjid, sungguh mulia jika engkau terpilih menjadi seorang imam di suatu waktu salat. Di sisi lain, juga menjadi cobaan akan kekhusyukanmu ketika sedang beribadah. Apakah pikiranmu benar-benar bersih atau justru terusik oleh selembar kain. Sayangnya, harapan itu sangat kecil. Meskipun ia tak mampu berjalan, ia tetap memaksa untuk menjadi imam. Ia tak mau posisinya digeser oleh siapa pun.

***

Bulan Desember tak kunjung turun membawa hujan sedangkan suhu telah terlampau panas. Bahkan bulu matamu akan terasa tersengat ketika berjalan di luar atau hanya sekadar untuk memarkir motor. Sedangkan kepala jemaah telah lama tertunduk karena kantuk dan seperti mau copot dari batang leher. Kesadaran mereka ikut menguap bersama udara yang tak bisa didinginkan dengan kipas angin yang ada di langit-langit.

Maulana dengan berapi-api meminta kita untuk menjalankan sunah-sunah nabi. Meninggikan derajat demi ganjaran surga. Namun makmum-makmum dengan pandangan yang kabur hanya mengangguk-angguk tak sadar. Hampir satu jam ia berkhotbah, melafalkan seluruh hadis yang masih ia ingat. Membuat bokong para lansia menjadi kebas karena duduk terlalu lama. Sedangkan anak-anak pesong sudah mulai ramai karena bosan dengan khotbah yang terlalu panjang. Beberapa justru memilih tidur berjejeran seperti ikan pindang yang tengah dijual di pasar.

Dan tentu saja Maulana selalu menyampirkan imitasi sajadah kencana itu di pundaknya, seolah-olah ia ingin menasbihkan diri sebagai wali Allah, atau seseorang yang dilimpahi karamah. Ketika salat Jumat berakhir, orang-orang mulai meninggalkan duduknya meskipun zikir yang dipimpin Maulana belum rampung. Ketika dirinya melangkah keluar dari mihrab dan berjalan menuju serambi luar beberapa orang berebut mencium tangan. Pengunjung dan peziarah yang tengah beristirahat di selasar depan menjadi gelagapan. Bahkan yang baru tertidur hampir meloncat karena terkaget-kaget dengan keramaian yang datang tiba-tiba.

Maulana dengan senang hati melayani satu persatu. Ia bahkan tak sungkan mengulurkan tangannya terlebih dahulu untuk dicium oleh orang-orang. Hatinya tiba-tiba terasa penuh karena diriapi kebahagiaan.

“Ustaz Maulana!” teriak salah seorang dari dalam masjid.

Orang-orang yang berebut mencium tangannya tiba-tiba mencari sumber suara dan penasaran siapa yang dengan beraninya memanggil orang yang mereka anggap suci dengan sebegitu lantang.

“Maaf, sepertinya ustaz meninggalkan sajadah ini.”

Orang-orang sontak melebarkan bola mata melihat orang berpakaian lusuh, dengan raut wajah hitam berminyak yang tengah membawa serta sajadah kencana itu.

Maulana tak kalah terkejut melihat orang itu. Kepalanya mendadak pening sedangkan tapuk matanya ingin sekali berkilah, dengan mengiyakan bahwa sajadahnya telah tertinggal. Tapi ia justru mematung bersama banyak orang, membuat beberapa detik dihabiskan dalam keheningan. Orang yang berpakaian lusuh tersebut menjadi salah tingkah. Maulana hanya mampu menepuk-nepuk sajadah imitasi yang tersampir di pundaknya. Mengisyaratkan bahwa itu bukan sajadah miliknya. Tenggorokannya tak mampu mengeluarkan suara seperti tengah tersedak getah cempedak.

Pikiran Maulana justru menumpul, ketika ia dengan lamat-lamat mengingat setiap detail wajah lelaki lusuh itu, cuping hidupnya justru menyimpan memori paling banyak. Karena lelaki itu berbau langut seperti baju yang disimpan terlalu lama di dalam lemari.

Mungkin karena khotbah Mustafa yang sangat lama, lelaki itu ia menjadi ingat betul dengan sajadah yang disampirkan di pundak Maulana sama persis dengan yang ada di mihrab imam.

“Oh benarkah?” bisik lelaki lusuh itu, ia setengah bertanya, setengah meyakinkan diri. Sedangkan Mustafa mengangguk ragu. Lelaki lusuh itu lantas masuk ke dalam masjid dan tergopoh-gopoh mengembalikan sajadah kencana ke posisi semula.

Pengunjung berkerumun dalam hening. Mulut-mulut comel mereka yang biasanya tak pernah berhenti nyinyir seolah terkunci. Mereka semua terperangah. Lebih-lebih aku sendiri. Sedangkan ibu-ibu yang ingin melaksanakan salat zuhur menjadi bingung mengapa semua orang tampak seperti terhipnotis.

Orang tersebut keluar masjid dengan memakai sandal jepit tipis. Dan ia mengambil dagangan kerupuk yang ia tinggalkan begitu saja di depan masjid. Tak lupa ia mengucapkan uluk salam, meskipun semua orang masih hanyut dalam pikiran masing-masing.

“Pasti dia wali Allah.” Seseorang kembali sadar dan menafsirkan penjual kerupuk begitu saja.

“Aku yakin ia justru Nabi Khidir yang sedang menyamar.” Kesadaran seseorang tampak diikuti oleh orang lain.

“Aku duduk di sebelahnya, dan memang benar ketika aku bersalaman dengannya, tulang ibu jarinya terasa lunak. Aku baru sadar, bukankah itu adalah tanda-tanda Nabi Khidir?”

“Lihatlah, dia bahkan tak memiliki bayangan ketika sedang berjalan. Dan mengapa langit tiba-tiba mendung padahal beberapa saat yang lalu hari benar-benar panas.”

Semua orang mengeluarkan isi pikiran mereka sendiri-sendiri dan berspekulasi sesukanya.

“Dia hanya penjual kerupuk biasa!” teriak Maulana dengan geram.

Dengungan tersebut terputus. Wajah merahnya kentara sekali terlihat. Alisnya tampak menyembunyikan kesumat sedangkan rahang kerasnya terlihat begitu menonjol. Ia membanting sajadah imitasi miliknya dan menjauh dari kerumunan tersebut. Ia benar-benar merasa bodoh di hadapan orang-orang yang tengah mengagungkan lelaki penjual kerupuk itu.

Tubuhku sendiri saat itu terpacak kaku seperti gedebog pisang. Melihat penjual kerupuk itu kepayahan membawa serta pikulan berisi kerupuk yang masih tersisa banyak. Dengan baju kebesaran dan telah berkeringat serta kaki yang pengkor sebelah.

“Haruskan kita mengejar orang itu untuk mencium tangannya?”

Orang-orang mulai sadar untuk kedua kalinya, sebanyak enam orang berlari untuk mengejar penjual kerupuk tersebut. Termasuk diriku sendiri. Kapan lagi aku bisa bertemu dengan wali Allah untuk kedua kalinya seumur hidup. Bahkan keenam orang sempat berteriak untuk menghentikannya. Tapi tepat ketika punggungnya menghilang di belokan gerbang depan, orang-orang tak melihatnya lagi. Sedangkan langit sepertinya ingin memaklumat melalui limpahan hujan yang turun deras dengan tiba-tiba. Hanya bau cendana yang samar tercium, persis seperti bau sajadah kencana.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Waliyullah...dengan segala keunikan. Salam kompak

06 Apr
Balas

Saya terpaku membacanya Pak.... dari deskripsi pesantrennya mengingatkan saya akan Masjid Tiban di Malang dengan segala hiruk pikuk cerita berdirinya.Salam Literasi dari Cikampek!

06 Apr
Balas

salam ibu Susi, terima kasih selalu mamppir ditulisan saya

06 Apr



search

New Post